Saya melihat dalam persoalan untuk menegakkan kebenaran dan menyebarkan ajaran Islam yang murni, telah berlaku sedikit kekeliruan pada sesetengah individu mengenai perbuatan berdebat dalam persoalan agama; adakah ianya sesuatu yang tercela ataupun diperbolehkan dalam agama.
Insya’ Allah dalam persoalan ini saya akan membahaskan sedikit mengenai kedudukan perdebatan sebagai sebuah metode dalam berdakwah.
Terlebih dahulu saya akan membentangkan ucapan-ucapan yang seolah-olah menunjukkan perdebatan dalam agama itu adalah dilarang sama sekali, lalu saya akan membentangkan pula tentang ucapan yang memperbolehkan perdebatan sebagai sebuah metode berdakwah. Kemudian, pada akhir penulisan ini barulah akan dijelaskan mengenai kedudukan perbuatan berdebat dalam perkara agama, dan penjelasan bagi kedua-dua ucapan yang seakan-akan bertentangan, namun hakikatnya adalah tidak.
UCAPAN YANG MENUNJUKKAN TERLARANGNYA PERDEBATAN.
Terdapat nash-nash yang menjelaskan tentang tercelanya berdebat dalam agama Allah s.w.t. Di antaranya adalah firman Allah s.w.t:
مَا يُجَادِلُ فِي آيَاتِ اللهِ إِلاَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوا فَلاَ يَغْرُرْكَ تَقَلُّبُهُمْ فِي الْبِلاَدِ
“Tidak ada yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah, kecuali orang-orang yang kafir. Kerana itu janganlah ulang-alik mereka dengan bebas dari suatu kota ke kota yang lain memperdayakan kamu.” (Surah Ghafir: 4)
Dan firman Allah s.w.t:
إِنَّ الَّذِيْنَ يُجَادِلُوْنَ فِي آيَاتِ اللهِ بِغَيْرِ سُلْطَانٍ أَتَاهُمْ إِنْ فِي صُدُوْرِهِمْ إِلاَّ كِبْرٌ مَا هُمْ بِبَالِغِيْهِ فَاسْتَعِذْ بِاللهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ
“Sesungguhnya orang-orang yang berdebat tentang ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka tidak ada dalam dada mereka melainkan hanyalah (keinginan akan) kebesaran yang mereka sekali-kali tidak akan mencapainya, maka mintalah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Surah Ghafir: 56)
Telah diriwayatkan daripada hadis Aisyah r.anha, Rasulullah s.a.w bersabda:
أَبْغَضُ الرِّجَالِ إِلىَ اللهِ اْلأَلَدُّ الْخَصِمُ
“Orang yang paling dibenci Allah adalah yang suka berdebat.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim)
Juga dari hadits Abu Umamah r.a, Rasulullah s.a.w bersabda:
“Tidaklah tersesat satu kaum setelah mendapatkan petunjuk yang dahulu mereka di atasnya, melainkan mereka diberi sifat berdebat.” Kemudian Rasulullah s.a.w membaca firman Allah s.w.t:
مَا ضَرَبُوْهُ لَكَ إِلاَّ جَدَلاً بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُوْنَ
“Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar.” (Az- Zukhruf: 58) (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan Ibnu Majah, dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 5633)
Abdurrahman bin Abiz Zinad berkata:
“Kami mendapati orang-orang yang mulia dan ahli fekah sangat mencela para ahli debat dan (orang) yang mendahulukan akalnya. Dan mereka melarang kami bertemu dan duduk bersama orang-orang itu. Mereka juga memperingatkan kami dengan tegas daripada mendekati mereka.” (lihat Al-Ibanah Al-Kubra 2/532, Mauqif Ahlis Sunnah, Asy- Syaikh Ibrahim Ar-Ruhaili 2/591)
Imam Ahmad berkata: “Pokok-pokok ajaran As-Sunnah menurut kami adalah: berpegang teguh di atas manhaj para sahabat Rasul s.a.w, mengikuti mereka, dan meninggalkan bid’ah. Dan setiap bid’ah adalah sesat. Dan meninggalkan pertengkaran serta duduk bersama pengikut hawa nafsu, juga meninggalkan dialog dan berdebat serta bertengkar dalam agama ini.” (Syarh Al-Lalika`i, 1/156, Mauqif Ahlis Sunnah, Ar- Ruhaili 2/591)
Wahb bin Munabbih berkata: “Tinggalkan perdebatan dalam urusanmu, kerana sesungguhnya kamu tidak akan terlepas dari menghadapi salah satu dari dua orang: (1) orang yang lebih berilmu daripadamu, lalu bagaimana mungkin engkau berdebat dengan orang yang lebih berilmu daripadamu? (2) orang yang engkau lebih berilmu daripadanya, maka bagaimana mungkin engkau mendebat orang yang engkau lebih berilmu daripadanya, lalu dia tidak mengikutimu? Maka tinggalkanlah perdebatan tersebut!” (Lammud Durr, karangan Jamal Al-Haritsi hal. 158)
UCAPAN YANG MEMPERBOLEHKAN PERDEBATAN.
Namun di samping dalil-dalil yang melarang berdebat tersebut di atas, juga terdapat nash-nash lain yang menunjukkan bolehnya untuk berdebat. Di antara yang menunjukkan bolehnya berdebat adalah firman Allah s.w.t:
ادْعُ إِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang amat baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Surah An-Nahl: 125)
Selain ayat di atas, Allah s.w.t juga ada menyebutkan beberapa kisah perdebatan antara Rasul-Nya dengan orang-orang kafir. Contohnya, kisah Nabi Ibrahim a.s yang berdebat dengan kaumnya. Demikian pula debat Nabi Musa a.s dengan Fir’aun, dan berbagai kisah lainnya yang disebutkan dalam Al-Qur`an.
Imam Ibnu Rajab Al-Hanbali berkata: “Ramai daripada kalangan imam salaf mengatakan: Berdebatlah dengan kelompok Al-Qadariyyah dengan ilmu, jika mereka mengakui maka mereka membantah (pemikiran mereka sendiri). Dan jika mereka mengingkari, maka sungguh mereka telah kafir.”
Bahkan jika kita melihat sememangnya perdebatan pernah terjadi dalam kalangan ulama salaf. Contohnya perdebatan antara ‘Umar bin Abdil ‘Aziz dengan Ghailan Ad-Dimasyqi Al-Qadari (pengikut fahaman Al-Qadariyyah), Ibnu ‘Abbas r.a yang berdebat dengan kelompok Khawarij, Al-Auza’i yang berdebat dengan seorang pengikut aliran Qadariyyah, Abdul ‘Aziz Al-Kinani dengan Bisyr bin Ghiyats Al-Marisi Al-Muktazili (Pengikut fahaman Muktazilah), Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dengan para tokoh ahli bid’ah, serta yang lainnya, yang menunjukkan diperbolehkannya melakukan dialog dan debat tersebut. (Mauqif Ahlis Sunnah, 2/597)
MERUNGKAI DUA PENDAPAT DI ATAS.
Sebenarnya dua ucapan di atas; antara melarang dan memperbolehkan perdebatan adalah tidak bertentangan. Akan tetapi apabila kita renungi, ianya menunjukkan bahawa dalam masalah berdebat, hukumnya tidaklah sama dalam semua keadaan. Adakalanya perdebatan itu tercela, dan adakalanya pula ia menjadi debat yang terpuji; ianya bergantung kepada keadaan dan tujuan sesebuah perdebatan itu.
Imam An-Nawawi berkata: “Jika perdebatan tersebut dilakukan untuk menjelaskan dan menegakkan kebenaran, maka perkara itu adalah terpuji. Namun, sekiranya ia bertujuan untuk menolak kebenaran ataupun berdebat tanpa ilmu, maka perkara itu adalah tercela.”
Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-‘Utsaimin menyatakan perdebatan dalam agama itu terbahagi kepada dua:
Pertama: dilakukan dengan tujuan menetapkan kebenaran dan membantah kebatilan. Ini merupakan perkara yang terpuji. Adakalanya hukumnya wajib atau sunnah, sesuai keadaannya. Ini berdasarkan surah An-Nahl, ayat 125 yang telah disebutkan di atas.
Kedua: dilakukan dengan tujuan bersikap berlebih-lebihan, untuk membela diri, atau membela kebatilan. Ini adalah perkara yang buruk lagi terlarang. Ini berdasarkan surah Ghafir, ayat 4 yang juga telah disebutkan di atas.
Abu Bakr Al-Ajurri berkata:
“Jika seseorang berkata: ‘Jika seseorang yang telah diberi ilmu oleh Allah s.w.t, kemudian ada seseorang datang kepadanya bertanya tentang masalah agama, lalu berdebat dengannya; apakah pendapatmu dia perlu mengajaknya berdialog agar sampai kepadanya hujjah dan membantah pemikirannya?’
Maka katakanlah kepadanya: ‘Inilah yang kita dilarang daripada melakukannya, dan inilah yang diperingatkan oleh para imam kaum muslimin yang terdahulu.’
Jika ada yang bertanya: ‘Lalu apa yang harus kami lakukan?’
Maka katakan kepadanya: ‘Jika orang yang bertanya permasalahannya kepadamu adalah orang yang mengharapkan bimbingan kepada kebenaran dan bukan perdebatan, maka bimbinglah dia dengan cara yang terbaik dengan penjelasan. Bimbinglah dia dengan ilmu daripada Al-Kitab dan As-Sunnah, perkataan para sahabat dan ucapan para imam kaum muslimin. Dan jika dia ingin berdebat denganmu (semata-mata bukan untuk mencari kebenaran), maka inilah yang dibenci oleh para ulama, dan berhati-hatilah engkau terhadap agamamu.’
Jika dia bertanya: ‘Apakah kita biarkan mereka berbicara dengan kebatilan dan kita mendiamkan mereka?’
Maka katakan kepadanya: ‘Diamnya engkau dari mereka dan engkau meninggalkan mereka dalam apa yang mereka bicarakan itu lebih besar pengaruhnya atas mereka daripada engkau berdebat dengannya. Itulah yang diucapkan oleh para ulama terdahulu dari ulama salafush shalih kaum muslimin." (Lammud Durr, Jamal Al- Haritsi hal. 160-162)
Berdasarkan surah An-Nahl, ayat 125, berdebat nyata adalah satu metode dakwah yang syari’e dan termaktub dalam Islam, dan sebagaimana yang dimaklumi, tujuan dakwah adalah untuk mendatangkan kebaikan dan menolak keburukan.
Sekiranya sesebuah perdebatan itu ditimbang, lalu dilihat ianya membawa manfaat yang besar, dan menolak kemudaratan, maka saat itu dibenarkan untuk berdebat, bahkan boleh menjadi wajib. Tetapi sekiranya perdebatan itu dilihat mendatangkan keburukan yang lebih besar, dan tidak memberikan sebarang manfaat melainkan sedikit, ataupun ianya hanya membawa sebuah kesia-siaan, malah tidak mematuhi adab-adabnya, maka saat itu perdebatan adalah tercela dan ianya hendaklah ditinggalkan.
Akhir sekali sebelum menutup tirai, suka saya menjelaskan, tujuan penulisan ini hanyalah untuk merungkai persoalan mengenai perdebatan dalam agama, adakah ianya sesuatu yang dilarang ataupun sebaliknya. Dan saya sama sekali tidak menyeru atau menganjurkan anda sekalian untuk berdebat, bahkan saya sendiri bukanlah seseorang yang suka berdebat.
Semoga penulisan ini akan memberikan manfaat kepada saya dan anda yang berkunjung ke mari.
Wallahu ‘alam.
RUJUKAN: Artikel “Berdebat Antara Yang Boleh & Terlarang” daripada CHM ‘Offline Blog Sunniy Salafy versi 10.10’ Sumbernya, Majalah Asy-Syariah dengan tajuk asal, “Berdebat Tanpa Ilmu” karya Ustaz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan